Komunikasi dalam Penafsiran Teks Sastra

Komunikasi dalam Penafsiran Teks Sastra


Oleh: Ganjar Harimansyah


Ada yang mengatakan bahwa permasalahan yang sering kita alami dalam memahami teks sastra terkait dengan sikap filosofis sastrawan. Pendapat yang umum telah disepakati adalah permasalahan dalam pemahaman teks sastra ini muncul bukan melalui eksploitasi semantik (atau pragmatik) khusus dalam sastra, melainkan eksploitasi semantik dan pragmatik dalam linguistik secara umum. Namun demikian, sejatinya linguistik dapat menawarkan metode untuk memahami bagaimana makna dihasilkan di dalam teks-teks sastra. Tiga hal utama dibahas dalam bagian ini yang dinilai membantu kajian sastra: (a) bagaimana metafora bekerja, (b) bagaimana ironi bekerja, dan (c) bagaimana ”titik/sudut pandang” (point of view) dikomunikasikan. Umumnya teori interpretasi linguistik mengatakan bahwa ujaran (termasuk di dalamnya teks sastra) memberikan bukti parsial untuk penafsiran. Di dalam teori relevansi (relevance theory), komunikator menggunakan ujaran untuk memberikan bukti yang masih belum lengkap (tetapi di dalam konteks ada cukup bukti) agar pendengar atau pembaca menentukan sendiri maksud informasinya.

Sebuah ujaran dapat diproses ke dalam sebuah bentuk logis, yaitu proposisi. Proposisi ini pada dasarnya dapat dijadikan sebagai makna yang dimaksudkan dalam ujaran, yaitu ”makna harfiah”-nya. Sebuah metafora timbul ketika bentuk logis sebuah ujaran harus ditolak karena adanya proposisi lain lagi, yang dihasilkan dengan menggunakan inferensi yang menjebatani kedua proposisi. Metafora hanyalah sebagian dari jenis ”pertuturan lepas” (loose talk) yang umum di dalam komunikasi: keharfiahan belum tentu merupakan cara paling efektif ntuk mengatakan sesuatu. Menurutnya, metafora merupakan suatu cara agar sebuah ujaran mampu mengkomunikasikan banyak pikiran (seluas interpretasi yang ada di dalam metafora itu). Oleh karena itu, metafora frekuensi penggunaan metafora di dalam bahasa sastra tergolong sangat tinggi. Sebenarnya metafora bukan hanya terbatas di dalam sastra, melainkan di dalam setiap jenis komunikasi.

Aspek metafora lainnya–kenyataan bahwa metafora sering menstereotipekan makna (yang dimaksud dengan X ini pasti sama dengan Y)–telah banyak dikaji oleh para ahli bahasa yang menaruh minat dalam organisasi kognitif. Melalui pendekatan ini hubungan antara bentuk-bentuk logis dan makna yang dimaksudkan ditarik dari perbendaharaan kaitan-kaitan antar konsep di dalam perbendaharaan leksikon dalam otak (mental lexicon), umpamanya ada kaitan (mungkin sudah universal) antara kehidupan (life) dan sebuah perjalanan (journey), sehingga kehidupan merujuk pada perjalanan, bagian-bagian perjalanan atau yang terkait dengannya selalu ditafsirkan secara metaforis sebagai tentang kehidupan. Ini merupakan kajian sastra tradisional, dan merupakan bagian dari kajian kognisi.

Ironi timbul ketika seorang penutur atau penulis mengkomunikasikan sebuah proposisi sekaligus mengkomunikasikan kurangnya komitmen terhadap proposisi yang diungkapkan itu. Ironi merupakan suatu kemungkinan karena bukan hanya proposisinya yang dikomunikasikan, tetapi juga sikap proposisinya, yaitu yang terdiri dari proposisi-proposisi terbungkus dalam keyakinan, ketidakyakinan, keraguan, kepastian, dsb. Sumber sikap itu adalah orang yang mempunyai sikap tertentu terhadap proposisi itu. Sumber itu bisa komunikator sendiri, bisa juga pihak ketiga, dalam hal ini dilaporkan oleh penutur atau penulis karena ia sendiri kurang komitmen terhadap proposisi yang dilansir. Ketika komunikator mengkomunikasikan bahwa sebuah proposisi bersumber dari pihak ketiga, dan sikapnya adalah keraguan atau ketidakyakinan, maka akan dihasilkan ironi. Ini bukan hanya dalam sastra tetapi sesuatu yang mungkin di dalam setiap tindak komunikasi.

Catatan penting mengenai ironi adalah bagian dari catatan yang lebih umum mengenai komunikasi ”sudut pandang”. Interpretasi pembaca atau pendengar sudut pandang merupakan interpretasi tentang tokoh atau narator yang mana yang harus dipahami sebagai pengalaman atas pikiran atau pengalaman tertentu dalam sebuah narasi. Kadang hal ini diperjelas dengan ujaran sebagai representasi langsung atau tak langsung dari ucapan atau pikiran dalam sebuah novel, di mana penutur atau pemikir disebutkan secara eksplisit dan hubungannya dengan ujaran, pikiran, atau pengalamannya diungkapkan secara eksplisit melalui kata kerja, seperti ”mengatakan”, ”tahu”, ”merasa” dsb. Penggunaan partikel pengantar (seperti ”mereka mengatakan bahwa” atau ”dikatakan bahwa”) berfungsi untuk mengungkapkan sikap secara langsung dengan menunjukkan bahwa representasi-representasi yang diungkapkan oleh narasi diketahui atau dialami oleh pihak ketiga.

Namun, ada kalanya makna seperti diuraikan di atas muncul tanpa penandaan eksplisit melalui penggunaan partikel pengantar. Dengan demikian, mungkin saja kita mendeteksi perpindahan sudut pandang tanpa penandaan eksplisit adanya perpindahan-perpindahan ini. Contohnya, dalam beberapa paragraf awal novel Jane Austen Emma, kita mendeteksi adanya suatu perpindahan sudut pandang dari narator ke tokoh hanya ditandai dengan cetak miring kata atau kalimat yang (dalam konteksnya) umumnya tidak pendek. Di sini teksnya memberikan bukti adanya perpindahan sudut pandang secara invatif (tanpa penandaan secara eksplisit); ini menunjukkan ciri umum komunikasi bahwa teks sebuah ujaran memberikan bukti sebagian saja untuk interpretasinya, dan dengan demikian bukan hanya isi proposisinya saja yang dikandung di dalam bentuk linguistik (linguistic form) melainkan juga sikap proposisi secara lebih umum, termasuk sikap siapa. Maka, mungkin saja semua bentuk apa yang kadang disebut dengan ”ucapan dan pikiran tak langsung yang bebas” sejatinya merupakan bentuk-bentuk yang menunjukkan bahwa teks hanya memberikan bukti parsial bagi pergantian suatu sudut pandang, tanpa menandainya sepenuhnya.

Bacaan Utama
Fabb, Nigel. 2001. “Linguistics and Literature” dalam The Handbook of Lingusitics (editor: Mark Aronoff dan Janie Rees-Miller). Oxford: Blackwell Publisher


Related Posts:

Linguistik Sastrawi

Linguistik Sastrawi


Oleh: Ganjar Harimansyah


"Linguistik sastrawi" membincangkan penerapan teori linguistik untuk kajian sastra. Perdebatan mengenai absah atau tidaknya melakukan pengkajian dengan menggunakan parameter linguistik terhadap teks sastra, pernah dijawab para pakar linguistik dalam Konferensi Interdisiplener tentang Gaya pada tahun 1958. Kegairahan pakar linguistik tersebut mencapai puncaknya pada penerbitan kumpulan makalah dalam konferensi itu sebagai hasil suntingan T. A. Sebeok dengan judul Style in Language (Cambridge, terbitan pertama tahun 1960). 

Dalam buku itu, Roman Jakobson mengatakan bahwa untuk pertama kali ada suatu seksi dari konferensi yang mempertautkan linguistik dan puitika, yaitu bahwa suatu kajian terhadap puisi diterima sebagai bagian tak terpisahkan dari linguistik dan sebagai tugas yang berkaitan dengannya. Titik berat linguistik sastrawi itu sendiri memang terletak pada penggunaan bahasa dan gaya bahasa suatu teks sastra. Kajian ini bertujuan untuk meneliti aspek khusus pemakaian bahasa dalam teks sastra, seperti pemanfaatan aspek fonologis (matra, rima, dan ritma), morfologis, sintaktis, diksi, penggunaan kata-kata konkret dan bahasa figuratif (majas), atau pengimajian kata (imagery) (dalam Sebeok, 1971).

Ada dua tujuan pokok dari teori bahasa yang berhubungan dengan karakteristik khusus teks sastra. Tujuan yang pertama adalah untuk model proses kognitif dalam bentuk perilaku verbal. Linguistik sastrawi menyesuaikan tujuan ini untuk mempertanyakan apakah sastra melibatkan apapun proses kognitif yang khusus. Tujuan yang kedua adalah untuk menjelaskan bagaimana bentuk bahasa dapat digunakan untuk mengomunikasikan makna. Linguistik sastrawi untuk tujuan ini mempertanyakan bagaimana karakteristik distingtif komunikasi sastra dapat dipahami dalam bentuk teori umum komunikasi bahasa.

Kognisi bahasa dan sastra
Perilaku verbal bersifat teratur: kita dapat membuat prediksi dan generalisasi tentang itu. Keteraturan itu "dihasilkan" aturan. Beberapa aturan berkaitan dengan kognitif, dalam pengertian bahwa mereka menghadirkan sistem kognitif khusus yang mendasari perilaku. Aturan lain adalah kultur atau konvensi, di dalam pengertian bahwa orang-orang mendapatkan dan menggunakannya sebagai bagian dari pengetahuan umum mereka; hal ini tidak punya status kognitif khusus. Di dalam bahasa, aturan tata bahasa generatif menghadirkan aturan kognitif, sedangkan aturan-aturan tata bahasa tradisional yang preskriptif menghadirkan aturan kultural atau konvensi.

Teks sastra mempunyai keteraturan yang sama dengan perilaku verbal secara umum, tetapi mereka juga mempunyai keteraturan khusus yang dapat diuraikan oleh aturan sastra, seperti aturan-aturan metrum, paralelisme, bentuk naratif, rima dan aliterasi, dan seterusnya. Yang menarik dalam hal ini adalah pertanyaan tentang “apakah aturan sastra itu aturan kognitif atau aturan kultur/konvensi (atau kedua-duanya dipakai secara bersamaan)”. Karena linguistik sastrawi terkait dengan kognisi, pertanyaan pokoknya adalah apakah aturan sastra yang manapun menghadirkan proses kognitif khusus atau tidak? Jika ini adalah sebuah kasus, langkah selanjutnya kita harus bertanya: apa yang menghubungkan antara proses kognitif dan proses kognitif bahasa secara umum? Pada suatu pihak, ada kemiripan umum antara aturan sastra dan bahasa. Misalnya, aturan metris merupakan bagian dari subkomponen kognitif dengan aturan fonologis. Pada sisi lain, apakah aturan sastra saling berhubungan dengan aturan bahasa?

Sebagai contoh, dari isu yang terlibat, kita patut mempertimbangkan tata cara di mana aliterasi bahasa Irlandia beroperasi, yang menunjukkan kedua-duanya di mana suatu proses kognitif khusus beroperasi dan proses ini saling berhubungan dengan proses bahasa. Kata-kata dalam bahas Irlandia “white”, “cow”, dan “great” mempunyai bán, bó, dan mór sebagai bentuk respektif mereka sampai pada tingkat yang mendasar, tetapi dilafalkan seperti mbán, βó, dan mór sebagai bentuk permukaan (Tingkat dasar dan bentuk permukaan terkait dengan aturan bahasa). Di dalam sajak bahasa Irlandia, aliterasi berhubungan dengan kata-kata yang dimulai dengan huruf konsonan, aliterasi kata-kata pada kata yang pertama dan kedua sama sedangkan yang ketiga tidak. Ini menunjukkan bahwa yang mendasari penyajian dari kata-kata ditentukan aturan aliterasi, dan bukan tampilan permukaan (Malone, 1988). Fakta bahwa aliterasi terkait dengan aspek "tersembunyi” dari bentuk bahasa, tanpa menghiraukan efek aturan fonologis, memberi kesan bahwa aturan aliterasi harus menjadi aturan kognitif sejak mereka bisa saling berhubungan dengan aturan kognitif.

Komunikasi Bahasa dan Sastra
Salah satu permasalahan pokok linguistik formal adalah bagaimana menjelaskan bentuk bahasa dihubungkan dengan makna. Ahli bahasa mengenalinya sebagai dua permasalahan yang berbeda. Masalah yang pertama adalah bagaimana menghubungkan bentuk fonologis ke bentuk logis. Bentuk logis adalah hasil proses fonologis dan sintaksis—sebagai representasi yang dapat diakses untuk aturan interpretatif. Misalnya, bentuk logis akan mengidentifikasi kata yang digunakan dalam percakapan, ungkapan-ungkapan yang cocok, dan hubungan gramatikal (subjek, predikat, objek, dll.).

Masalah yang kedua adalah menjelaskan bagaimana di dalam komunikasi sebuah bentuk logis digunakan untuk menentukan informasi apa yang ada dibalik ucapan pembicara? Masalah yang pertama adalah ranah sintaksis (dan mungkin dalam ranah semantik), dan dapat dipastikan tidak relevan dengan studi teks sastra, sebab teks sastra kemungkinan seperti jenis teks pada umumnya ketika diderivasi dari bentuk logis ke bentuk fonologis. Masalah yang kedua berada dalam ranah pragmatis dan sangat relevan dengan studi dari teks sastra karena teks sastra mempunyai karakteristik interpretasi yang tidak biasa dan mempunyai penafsiran tidak langsung, bertingkat, dan tak tentu. Selain itu, aspek metafora dan ironi yang sering dipakai dalam beragam teks sastra berkaitan dengan jenis interpretasi tidak langsung, keambiguan, dan karakteristik yang tak terungkapkan. Hal ini adalah contoh keadaan yang tak dapat dipastikan dan menimbulkan beraragam penafsiran. Oleh karena itu, linguistik sastrawi harus mempertanyakan masalah penafsiran dalam teks sastra: apakah karakteristik interpretasi dalam teks sastra melibatkan mekanisme teori kognitif yang berbeda dengan mekanisme kognitif dalam interpretasi teks non-sastra?

Keistimewaan Sebuah Teks Sastra
Teks sastra adalah wahana di mana kita dapat menemukan beragam aturan-aturan tentang matra, paralelisme, struktur naratif, dan seterusnya. Dalam hal ini, fakta bahwa teks yang secara khas mempunyai aturan seperti itu disebut “sastra” tidaklah relevan, karena kita berbicara tentang aturan dan bukan jenis teks di mana aturan itu terjadi.

Bahasa dalam karya sastra adalah pemakaian bahasa yang khusus. Sifat-sifat dan keberadaan bahasa sastra yang khusus ini karena ada pemolaan bahasa yang digunakan secara khusus pula sebagai bahan dasarnya. Oleh sebab itu, teks sastra memiliki status khusus sebagai seni verbal, di mana bahasa sebagai inti semiotika kemanusiaan merupakan aktivitas yang bermakna dalam komunikasinya (Cumming dan Simons, 1986:vii).

Pemolaan bahasa dalam teks sastra membawa pengertian bahwa pemakaian bahasa sastra harus dianggap sebagai wacana tersendiri, yaitu wacana sastra, yang dapat dipahami dengan pengertian dan konsepsi bahasa yang tepat. Pemakaiannya harus dibedakan dari pemakaian bahasa sehari-hari secara umum, pemakaian bahasa dalam media massa (baik visual maupun auditoris), buku-buku ilmiah, perundang-undangan atau peraturan-peraturan, dalam pidato-pidato resmi ataupun nonresmi (Teeuw, 1983:1).

Masalah perbedaan bahasa dalam teks sastra dan nonsastra sebenarnya terletak pada ciri-ciri bahasa sastra yang tidak selamanya ajeg (consistent). Artinya, ada bahasa dalam teks nonsastra yang bercirikan bahasa sastra, dan sebaliknya ada bahasa sastra yang bercirikan bahasa nonsastra. Bahkan ciri-ciri bahasa puisi dengan karya sastra lainnya, seperti prosa dan drama, saling tumpang tindih (overlapping).

Perbedaan teks sastra dengan bahasa sehari-hari dapat juga dijelaskan dengan adanya dua sistem dalam bahasa sastra. Sistem yang pertama, yaitu sistem primer, merupakan sistem yang berkaitan dengan bahasa yang alami (bahasa sehari-hari). Yang kedua, sistem sekunder, yaitu sistem kode bahasa sastra itu sendiri yang dikembangkan dengan bertumpu pada sitem primernya. Sistem primer ini dapat dijelaskan sebagai hubungan linear sedangkan sistem sekunder sebagai hubungan tidak linear dan dari hubungan tidak linear (paradigmatis) tersebut akan muncul gejala metafora. Misalnya, dalam puisi "Aku" karya Chairil Anwar ada ungkapan aku ini binatang jalang yang selain menggunakan materi bahasa yang memiliki pola kalimat sehari-hari, seperti aku ini mahasiswa teladan, tetapi ditinjau dari sistem sekundernya baris puisi tersebut menunjukkan kekhasan; selain dapat dilihat adanya bunyi antarkata dan adanya pemenggalan larik, sehingga larik dari kumpulannya terbuang tidak ditulis dalam satu baris. Di samping itu, bahasa puisi dalam konvensi sekundernya menunjukkan pemadatan, pengayaan makna, pola paduan bunyi, dan variasi penataan hubungan sintagmatik.

Dua sistem bahasa di atas akan lebih jelas apabila kita melihat enam fungsi bahasa yang ditampilkan oleh Jakobson. Roman Jakobson (1987:71) mencirikan bahasa dalam teks sastra (khususnya puisi) sebagai bentuk komunikasi puitik dengan jalan membedakan atau menunjukkan adanya bermacam-macam fungsi bahasa, seperti terlihat dalam bagan berikut ini.


Bagan Puisi sebagai Bentuk Komunikasi Puitik

Referensial
|
|
EMOTIF--------------------- Puitik Fatis------------------ KONATIF
|
|
|
Metabahasa

Dari bagan di atas, kita dapat melihat tiga fungsi bahasa sebagai faktor-faktor komunikasi verbal, yaitu emotif (emotive), konatif (conative), dan referensial (referential), serta tiga fungsi korespondensi bahasa, yaitu fatis (phatic), metabahasa (metalingual), dan puitik (poetic). Fungsi emotif menyatakan perasaan pembicara atau pengarang (addresser), fungsi konatif mengacu kepada si pembaca atau pendengar (addressee), misalnya seruan atau perintah, dan fungsi referensial adalah fungsi untuk konteks (menunjuk, mengacu atau menerangkan). Fungsi fatis ialah untuk menetapkan, mengiakan, memperpanjang, memutuskan komunikasi, atau mencek adanya hubungan komunikasi, fungsi metabahasa untuk membicarakan kode (bahasa atau fungsi linguistis), sedangkan fungsi puitik adalah fungsi kepuitisan, suatu sikap yang mengacu pada pesan (message) demi pesan itu sendiri.

Pemakaian bahasa secara umum meliputi keenam fungsi di atas, namun dalam teks sastra fungsi puitik lebih dominan daripada kelima fungsi lainnya. Fungsi puitik inilah yang menjadikan pesan kebahasaan dari sebuah karya seni. Fungsi puitik memproyeksikan prinsip persamaan, persejajaran dari proses pemilihan (parataksis) ke poros kombinasi (sintaktis). Dalam hal ini, komunikasi dalam puisi dapat dikatakan sebagai bentuk komunikasi puitik dan fungsi emotif berkaitan dengan aktivitas ekspresi penyair. Dalam konteks ini, bahasa puisi difungsikan untuk membentuk dan mengungkapkan ekspresi secara langsung sekaligus disertai nuansa sikap penuturnya sendiri.

Dilihat dari segi bahasa komunikasi, bahasa dalam teks sastra–seperti halnya dengan bahasa yang digunakan media lain, memiliki unsur-unsur yang membangun bahasa tersebut, yaitu bunyi bahasa, kata, kelompok kata (frasa) dan kalimat. Unsur-unsur bahasa tersebut mempunyai beberapa kekhususan dalam pemakaiannya.

Richard Bauman (1984) mengadaptasi pendekatan Jakobson ke dalam bentuk sastra dan menaruhnya ke dalam konteks di mana teks sastra diperkenalkan ke pendengar, konteks itulah sebagai tampilan (Bauman memokuskan pada tampilan lisan, tetapi publikasi sastra dapat dilihat juga sebagai capaian). Bauman menyatakan bahwa yang diperlukan dalam komunikasi adalah penampilan karena memerlukan penyaji (pengarang) untuk mempertunjukkan kepada pendengar/pembaca bahwa dia sedang mempertahankan satu set aturan, dan mengharapkan pendengar/pembaca untuk mengevaluasinya. Oleh karena itu, aturan harus tampil di permukaan, seperti ketika teks sastra dikomunikasikan sebagai suatu uraian tentang bentuknya.

Jakobson dan Bauman menyelidiki kemungkinan bahwa sastra adalah suatu komunikasi verbal yang khusus, dan karenanya menarik perhatian ahli bahasa. Selain itu, ahli bahasa juga tertarik karena pengalaman sastra memberikan kualitas "estetis'' yang berbeda dari pengalaman kita dengan jenis teks-teks lainnya. Teks sastra membangkitkan pengalaman estetis. Pengalaman estetis merupakan masalah psikologis, berhubungan dengan afektif dan komponen fisiologis sebagai komponen kognitif. Pertanyaan kunci untuk linguistik sastrawi adalah apakah cara eksploitasi pembeda bentuk bahasa dalam sastra berperan untuk pengalaman estetis atau tidak.


Bacaan

  • Cummings, M. dan R. Simmons. 1986. The Language of Literature. England: Pergemon Press Ltd.
  • Fabb, Nigel. 2001. “Linguistics and Literature” dalam The Handbook of Lingusitics (editor: Mark Aronoff dan Janie Rees-Miller). Oxford: Blackwell Publisher
  • Sebeok, T. A. (ed.) 1971. Style in Language. Cambridge: MIT Press.
  • Teeuw, A. 1983. Tergantung Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Widdowson, H. G. 1975. Stylistics and The Teaching of Literature. England: Longmans Ltd.

Related Posts:

===========================================================
Mari Berbagi Inspirasi dengan mengirimkan Artikel Bapak/Ibu Guru ke Email: gurukreatif87@gmail.com